Reformasi pendidikan tanpa arah jelas? Dampaknya pada Masa Depan Pendidikan

Hasil skor PISA 2019 menunjukkan Indonesia berada di peringkat bawah dalam membaca, matematika, dan sains. Data ini memicu pertanyaan besar tentang mutu pendidikan kita saat ini.
Di tengah upaya perbaikan, masalah kekurangan guru masih menghantui. Menurut penelitian, Indonesia membutuhkan lebih dari 1 juta guru baru untuk memenuhi standar. Program seperti Guru Penggerak hadir sebagai solusi, tapi apakah cukup?
Perubahan kurikulum yang terlalu cepat justru menimbulkan kebingungan di Reformasi kalangan peserta didik dan tenaga pengajar. Pakar pendidikan seperti Yudi Latif pun meragukan konsistensi kebijakan ini.
Lalu, bagaimana masa depan sistem pendidikan kita? Reformasi pendidikan seharusnya membawa perubahan nyata, bukan sekadar program tanpa arah yang jelas.
Pendahuluan: Pendidikan Indonesia di Persimpangan Jalan
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem pendidikan yang berkualitas. Dari masa kolonial hingga sekarang, banyak hal berubah, tapi masalah utama masih sama. Reformasi Bagaimana kita bisa menciptakan generasi unggul jika fondasinya rapuh?
Konteks Krisis Pendidikan Nasional
Sejarawan Sindhunata pernah mencatat, ilmu pengetahuan di era kolonial justru melahirkan tokoh-tokoh besar. Soekarno, Hatta, dan banyak founding fathers adalah produk sistem saat itu. Kini, situasinya berbeda:
- Guru kehilangan otonomi mengajar sejak Orde Baru (Mochtar Buchori)
- Birokrasi pendidikan terlalu top-down selama 50 tahun
- Ujian Nasional jadi alat politik selama 3 dekade
Fakta dari KPK menunjukkan, korupsi di lembaga pendidikan masih tinggi. Ini memperparah krisis yang sudah ada. Kepala sekolah dan pengambil kebijakan sering terjebak urusan administratif, bukan peningkatan kualitas.
Mengapa Arah Perubahan Dipertanyakan?
Yudi Latif pernah mengkritik logika pasar yang masuk ke dunia sekolah. Nilai-nilai kebudayaan dan karakter sering terabaikan. Masyarakat pun mulai bertanya:
“Apakah perubahan yang terjadi benar-benar untuk kemajuan, atau sekadar mengganti label saja?”
Data menunjukkan, setiap pergantian zaman, kebijakan berubah drastis. Orde Lama, Orde Baru, dan era sekarang punya pendekatan berbeda. Tapi hasilnya? Masih jauh dari harapan.
Masyarakat butuh konsistensi. Bukan sekadar program baru setiap ganti menteri. Reformasi Tantangan nyata ada di lapangan, bukan di atas kertas kebijakan.
Reformasi Pendidikan Tanpa Arah Jelas? Potret Kebijakan yang Tersendat
Perubahan dalam dunia pendidikan Indonesia seringkali seperti roda yang berputar tanpa henti. Namun, apakah setiap putaran membawa kemajuan atau justru berjalan di tempat?
Program Guru Penggerak dan PPPK: Solusi atau Tambal Sulam?
Program Guru Penggerak digadang-gadang sebagai terobosan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun, realitanya berbeda. Anggaran Rp7,2 triliun ternyata lebih banyak dinikmati sekolah di Jawa-Bali.
Kasus guru honorer yang terdiskriminasi sistem PPPK juga mencoret wajah program pemerintah. Banyak pengajar berkualitas justru tersingkir karena aturan yang kaku.
Skor PISA dan Ironi Kualitas Pendidikan
Hasil PISA 2019 menjadi tamparan keras. Padahal, anggaran untuk pelatihan Reformasi guru terus meningkat. Di mana letak masalahnya?
Faktanya, pelatihan seringkali hanya formalitas. Guru sibuk dengan administrasi ketimbang meningkatkan kreativitas mengajar. Peserta didik pun menjadi korban sistem yang belum ideal.
Kurikulum yang Berubah-ubah: Antara Visi dan Implementasi
Survei PGRI 2023 menunjukkan 74% guru kesulitan menerapkan Kurikulum Merdeka. Perubahan terlalu cepat tanpa persiapan memadai.
Perbedaan mencolok terlihat antara sekolah di kota dan daerah. Fasilitas dan pemahaman akan teknologi menjadi jurang pemisah yang sulit dijembatani.
Seperti dikatakan seorang praktisi:
“Kita butuh konsistensi, bukan sekadar ganti baju kurikulum setiap ada menteri baru.”
Tantangan Mendasar dalam Transformasi Pendidikan
Dunia pendidikan kita menghadapi tiga masalah besar yang saling berkaitan. Mulai dari sistem birokrasi yang rumit hingga konflik antara modernisasi dan pelestarian budaya. Tanpa solusi tepat, kemajuan akan sulit dicapai.
Warisan Birokrasi yang Koruptif
Data ICW mencatat 540 kasus korupsi di sektor pendidikan sejak 2015. Praktik mark-up pengadaan buku terjadi di 12 provinsi. Ironisnya, dana yang seharusnya untuk peserta didik justru menguap.
Kasus jual-beli sertifikat guru penggerak semakin memperparah keadaan. Padahal, program ini dirancang untuk meningkatkan kualitas mengajar. Sistem birokrasi yang korup telah merusak Reformasi tujuan mulia tersebut.
Guru antara Beban Administratif dan Inovasi
Riset menunjukkan 78% waktu guru habis untuk urusan administratif. Mereka terjebak antara tugas mengajar dan memenuhi tuntutan birokrasi. Akibatnya, kreativitas dalam kelas sering terabaikan.
Seorang kepala sekolah di Jawa Timur mengeluh:
“Guru kami seperti mesin fotokopi laporan, bukan pendidik.”
Padahal, produktivitas mengajar bisa meningkat 40% jika beban admin dikurangi. Solusinya butuh perubahan sistem dari hulu ke hilir.
Teknologi vs Nilai-nilai Kebudayaan
Anggaran TIK pendidikan mencapai Rp15,4 triliun pada 2023. Namun, realisasinya hanya 62%. Di sisi lain, program pelestarian budaya lokal justru kekurangan dana.
Beberapa sekolah adat di Papua berhasil menggabungkan keduanya. Mereka menggunakan teknologi sederhana untuk mengajarkan nilai-nilai leluhur. Contoh ini patut ditiru di daerah lain.
Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi juga pembentukan karakter. Kolaborasi antara modernitas dan kearifan lokal adalah kunci masa depan.
Kesimpulan: Menemukan Kembali Kompas Pendidikan Indonesia
Transformasi sistem belajar di Tanah Air membutuhkan langkah konkret, bukan sekadar wacana. Survei PGRI 2023 menunjukkan 98% guru mendukung reformasi evaluasi. Solusinya? Model Reformasi hybrid kurikulum nasional-lokal dan revitalisasi peran pengawas sekolah sebagai mitra pendidik.
Untuk peserta didik, kita perlu konsep meritokrasi dalam promosi jabatan guru. Data Kemendikbud 2024 mencatat 45% sekolah sudah menerapkan kearifan lokal. Sinergi tripartit antara guru, orang tua, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan.
Kabupaten Semarang membuktikan platform kolaborasi lintas generasi guru berhasil meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan pembiayaan Reformasi berbasis kinerja dan integrasi teknologi, target 100% sekolah penggerak di 2025 bukan mimpi belaka.