Sengketa Kepulauan Chagos antara Inggris dan sejumlah pihak internasional, termasuk Mauritius, telah menjadi isu yang berlarut-larut selama beberapa dekade. Baru-baru ini, upaya Inggris untuk mengalihkan kepemilikan atas Kepulauan Chagos mengalami hambatan signifikan setelah muncul gugatan hukum yang memblokir rencana tersebut. Artikel ini akan membahas latar belakang sengketa, upaya Inggris, detail gugatan hukum, serta implikasi internasional dari kasus ini.
Latar Belakang Sengketa Kepulauan Chagos dan Inggris
Kepulauan Chagos adalah sebuah kepulauan kecil di Samudra Hindia, yang terdiri dari lebih dari 60 pulau kecil dengan Pulau Diego Garcia sebagai pulau terbesar. Wilayah ini memiliki nilai strategis tinggi, terutama karena lokasi militernya yang vital. Sejak tahun 1965, Kepulauan Chagos telah berada di bawah kendali Inggris, setelah dipisahkan dari Mauritius yang saat itu masih merupakan koloni Inggris.
Pemutusan administratif tersebut dilakukan sebelum Mauritius memperoleh kemerdekaan pada tahun 1968. Sejak saat itu, Mauritius telah mengklaim bahwa pemisahan Chagos tidak sah dan melanggar resolusi dekolonisasi PBB. Inggris tetap mempertahankan kendali atas wilayah tersebut dan menyewakan Pulau Diego Garcia kepada Amerika Serikat sebagai pangkalan militer.
Selain aspek geopolitik, sengketa Chagos juga melibatkan isu kemanusiaan. Ribuan penduduk asli Chagos, yang dikenal sebagai Chagossians, dipaksa meninggalkan tanah mereka antara tahun 1968 dan 1973 untuk memberi jalan bagi pembangunan instalasi militer. Para pengungsi ini tersebar ke Mauritius, Seychelles, dan Inggris.
Hak kepemilikan atas Kepulauan Chagos menjadi perdebatan hukum dan politik di berbagai forum internasional. Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 2019 mengeluarkan opini yang menyatakan bahwa Inggris harus mengakhiri administrasinya atas Chagos sesegera mungkin dan mengembalikannya kepada Mauritius. Namun, Inggris menolak mentah-mentah putusan tidak mengikat tersebut.
Selain opini ICJ, Majelis Umum PBB juga telah mengeluarkan resolusi yang mendukung klaim Mauritius. Meskipun demikian, Inggris berpendapat bahwa status hukum Kepulauan Chagos tetap sah di bawah yurisdiksinya berdasarkan hukum domestik dan perjanjian bilateral dengan Amerika Serikat.
Dengan latar belakang ini, sengketa atas Kepulauan Chagos bukan hanya perebutan atas tanah, melainkan juga pertempuran politik, hukum, dan kemanusiaan yang melibatkan berbagai aktor internasional.
Upaya Inggris Mengalihkan Kepemilikan Chagos
Dalam beberapa tahun belakangan, Inggris mulai menunjukkan keinginan untuk merundingkan masa depan Kepulauan Chagos. Tekanan dari komunitas internasional, termasuk keputusan ICJ dan resolusi PBB, memaksa Inggris untuk mempertimbangkan berbagai opsi terkait status wilayah tersebut.
Salah satu langkah yang dipertimbangkan Inggris adalah mengalihkan kepemilikan atau setidaknya administrasi Kepulauan Chagos ke pihak ketiga, khususnya Mauritius, melalui proses negosiasi bilateral. Inggris menyatakan kesediaannya untuk membahas syarat-syarat pengembalian, termasuk masa depan pangkalan militer AS yang sangat strategis.
Langkah ini ditanggapi berbagai reaksi dari para pemangku kepentingan. Mauritius menyambut baik kemungkinan pengembalian, namun menuntut agar proses tersebut dilakukan sepenuhnya sesuai hukum internasional dan dengan memastikan hak-hak Chagossians yang terusir. Amerika Serikat juga terlibat dalam diskusi, mengingat kepentingan militernya yang besar di Diego Garcia.
Namun demikian, proses negosiasi ini menghadapi berbagai rintangan. Selain perbedaan posisi antara Inggris dan Mauritius, ada pula keprihatinan terkait hak atas sumber daya alam di sekitar kepulauan, termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang luas.
Upaya Inggris untuk mengalihkan kepemilikan juga menghadapi tekanan domestik. Sebagian anggota parlemen dan masyarakat Inggris menuntut agar pemerintah bertanggung jawab atas pengusiran Chagossians dan memastikan bahwa pengembalian kepulauan harus melibatkan pemulihan hak-hak mereka.
Akhirnya, meskipun Inggris berulang kali menyatakan kesediaan untuk bernegosiasi, belum ada kesepakatan final yang tercapai. Kondisi ini menyiapkan panggung bagi munculnya tantangan hukum yang memperumit rencana pengalihan kepemilikan Chagos.
Gugatan Hukum yang Memblokir Rencana Inggris
Pada tahun 2024, sebuah gugatan hukum diajukan oleh sekelompok Chagossians dan organisasi HAM internasional ke pengadilan tinggi di Inggris. Gugatan ini menentang rencana pemerintah Inggris untuk mengalihkan Kepulauan Chagos tanpa konsultasi yang memadai dengan komunitas Chagossians yang terdampak.
Penggugat menuduh pemerintah Inggris telah mengabaikan hak-hak dasar mereka, termasuk hak untuk kembali ke tanah leluhur, memperoleh kompensasi yang adil, serta hak untuk ikut menentukan masa depan kepulauan. Gugatan tersebut juga menyoroti kurangnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses negosiasi.
Pengadilan tinggi menanggapi serius argumen penggugat dan mengeluarkan perintah sementara yang memblokir rencana pengalihan hingga ada keputusan akhir terkait hak-hak Chagossians. Pemerintah Inggris diwajibkan untuk memberikan klarifikasi mengenai bagaimana hak-hak dan kepentingan para pengungsi akan dilindungi dalam kerangka negosiasi dengan Mauritius.
Gugatan ini menjadi preseden penting dalam sengketa ini karena menegaskan bahwa penyelesaian status Chagos tidak hanya merupakan urusan antarnegara, tetapi juga harus mempertimbangkan hak-hak rakyat yang terdampak. Proses hukum ini membuat Inggris tidak dapat melanjutkan negosiasi apapun terkait pengalihan kepemilikan tanpa lebih dulu menyelesaikan isu-isu hak asasi.
Lebih lanjut, gugatan ini mendapatkan dukungan luas dari organisasi internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch. Mereka menegaskan bahwa pemulihan hak Chagossians adalah syarat mutlak untuk penyelesaian sengketa secara adil dan bermartabat.
Dengan demikian, gugatan hukum yang diajukan ke pengadilan Inggris telah secara efektif memblokir rencana pemerintah untuk mengalihkan kepemilikan Kepulauan Chagos, setidaknya hingga proses hukum selesai dan hak-hak Chagossians dijamin secara hukum.
Implikasi Internasional dari Sengketa Kepulauan Chagos
Sengketa Kepulauan Chagos memiliki implikasi luas di kancah internasional. Pertama, kasus ini menjadi contoh nyata dari kompleksitas penyelesaian sengketa dekolonisasi, di mana hukum internasional, kepentingan strategis, dan hak asasi manusia saling bertabrakan.
Kedua, kasus ini menguji efektivitas institusi internasional seperti Mahkamah Internasional dan PBB dalam menegakkan prinsip-prinsip dekolonisasi dan hak penentuan nasib sendiri. Meskipun sudah ada opini ICJ dan resolusi PBB, penerapannya di lapangan tetap terganjal kepentingan politik negara-negara besar.
Ketiga, keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Diego Garcia menambah lapisan kompleksitas pada sengketa ini. AS secara konsisten menekankan pentingnya kepulauan tersebut untuk keamanan kawasan Indo-Pasifik dan menentang perubahan status yang dapat mengancam operasional militernya.
Keempat, gugatan hukum yang diajukan Chagossians semakin mempertegas pentingnya pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam penyelesaian konflik teritorial. Komunitas internasional kini semakin menuntut agar hak-hak masyarakat terdampak tidak diabaikan dalam negosiasi antarnegara.
Kelima, sengketa ini juga berdampak pada hubungan bilateral Inggris-Mauritius. Ketegangan diplomatik dapat meningkat jika penyelesaian tidak segera ditemukan, apalagi jika proses hukum di Inggris berlarut-larut tanpa kejelasan.
Terakhir, kasus Chagos menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lain yang menghadapi isu serupa, yaitu perlunya mekanisme penyelesaian yang tidak hanya adil secara hukum, tetapi juga bermartabat dan mengedepankan keadilan bagi masyarakat yang terdampak langsung.
Sengketa Kepulauan Chagos antara Inggris, Mauritius, dan komunitas internasional kini memasuki babak baru setelah rencana pengalihan kepemilikan diblokir oleh gugatan hukum di Inggris. Kasus ini menyoroti pentingnya integrasi hukum internasional, hak asasi manusia, dan kepentingan strategis dalam penyelesaian konflik kolonial yang masih tersisa. Bagaimana Inggris, Mauritius, serta komunitas global memilih menuntaskan isu ini akan menjadi preseden penting bagi penyelesaian sengketa serupa di masa mendatang.